LOGO IALI HD
IALI JAKARTA SELENGGARAKAN TALKSHOW DALAM JAF 2025

Menanam Identitas Jakarta: Talkshow IALI Menggali Toponimi, Flora Lokal, dan Hak Cipta Karya Arsitek Lanskap

Jakarta Architecture Festival 2025 kembali menyajikan diskursus mendalam tentang identitas kota melalui rangkaian talkshow yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) Jakarta. Bertempat di Blok M Hub, Jalan Iskandarsyah Kebayoran Baru Jakarta Selatan, acara dengan tema "Menanam Identitas Jakarta: Toponimi – Flora Lokal – Hak Cipta Karya Arsitek Lanskap" berlangsung meriah pada Jumat, 24 Oktober 2025, dan berhasil menarik perhatian 80 peserta dari berbagai kalangan profesional dan akademisi.

Acara dibuka dengan penandatanganan MoU antara IALI Jakarta dengan Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI) yang disaksikan Ketua Umum IALI, dalam sambutannya Ketua Umum IALI Bapak Dian Heri Sofian, yang menyampaikan apresiasi kepada IALI Jakarta yang telah menyelenggarakan kegiatan yang sangat penting ini. Kemudian dilanjutkan sambutan dari Ketua IALI Jakarta Bapak Evan Sandjaja yang menekankan pentingnya pelestarian identitas Jakarta melalui pendekatan Arsitektur Lanskap yang berkelanjutan. Dalam sambutannya, beliau menyatakan komitmen IALI Jakarta untuk mendukung pembangunan berkelanjutan menuju Lima Abad Jakarta melalui pemanfaatan flora lokal dan perlindungan hak cipta karya arsitek lanskap.

Hadir pula sejumlah tokoh penting dalam dunia arsitektur lanskap Indonesia, termasuk perwakilan Majelis Arsitek Lanskap Indonesia Ibu Erita Adya Laksita, Ketua PP IALI Jawa Barat Bapak Firmansyah, Ketua PP IALI Banten Ibu Irina Mildawani, serta Dekan Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan (FALTL) Universitas Trisakti Ibu Silia Yuslim. Kehadiran para pemangku kepentingan ini menunjukkan dukungan lintas institusi terhadap upaya pelestarian identitas Jakarta melalui arsitektur lanskap.

Salah satu pembicara utama, Bapak Faries Fadhil Al Ahmad, SP dari IALI Jakarta, menghadirkan perspektif fascinating tentang toponimi Jakarta—studi mengenai asal-usul nama tempat. Dalam paparannya, Faries mengungkap bahwa banyak nama wilayah di Jakarta sebenarnya berasal dari nama pohon lokal yang pernah tumbuh subur di kawasan tersebut.

"Nama seperti Kemang, Cempaka Putih, Tenabang, Condet, Bintaro, dan Grogol bukanlah sekadar penamaan arbitrer, melainkan jejak ekologi yang mencerminkan kekayaan flora Jakarta di masa lalu," jelas Faries. Ia menambahkan bahwa fenomena ini tidak unik hanya di Jakarta, tetapi juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia lainnya.

Studi toponimi ini menjadi penting karena memberikan landasan historis dan ekologis bagi para arsitek lanskap dalam merancang ruang publik yang tidak hanya fungsional tetapi juga memiliki kedalaman makna kontekstual. Dengan memahami asal-usul nama tempat, para perancang dapat mengintegrasikan kembali elemen flora yang telah hilang namun menjadi bagian dari memori kolektif kota.

Profesor Tukirin Partomihardjo dari Forum Pohon Langka Indonesia membawa diskusi ke arah yang lebih kritis mengenai konservasi pohon langka di Indonesia. Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan flora endemik yang luar biasa, namun banyak di antaranya terancam punah karena habitat yang terus menyusut.

"Konservasi pohon langka tidak bisa lagi hanya menjadi tanggung jawab lembaga penelitian atau taman nasional. Arsitek lanskap memiliki peran krusial dalam mengintegrasikan spesies-spesies langka ini ke dalam perencanaan desain perkotaan," ujar Prof. Tukirin.

Beliau mencontohkan bagaimana beberapa spesies pohon langka seperti Dysoxylum densiflorum atau rynchosia dapat menjadi daya tarik ekologis sekaligus edukatif jika ditanam di ruang publik dengan desain yang tepat. Namun, tantangannya adalah membutuhkan kolaborasi multidisiplin yang melibatkan ahli botani, arsitek lanskap, dan pemerintah daerah untuk memastikan keberlanjutan program ini.

Aspek hak cipta menjadi fokus pembicaraan ketiga yang disampaikan oleh Ibu Yosephine Kartini Natawiria, pakar Kekayaan Intelektual (KI). Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa karya arsitek lanskap—seperti rancangan taman, plaza, atau ruang publik lainnya—memenuhi syarat sebagai cipta yang dilindungi undang-undang.

"Para arsitek lanskap dapat dan harus mencatatkan karya desainnya melalui website resmi pemerintah untuk memastikan orisinalitas karya mereka terlindungi secara hukum," jelas Yosephine, merujuk pada  UU No. 28 Tahun 2014  tentang Hak Cipta .

Proteksi hak cipta ini menjadi semakin penting di era digital di mana plagiarisme dan peniruan desain dapat dengan mudah terjadi. Yosephine menambahkan bahwa selain pendaftaran resmi, dokumentasi yang baik selama proses desain juga menjadi bukti kuat dalam kasus pelanggaran hak cipta.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *