
BENCANA banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 akan tercatat lama dalam ingatan kita. Ratusan orang meninggal dan ratusan lainnya masih hilang; jutaan warga terdampak, ribuan rumah hancur, banyak jaringan infrastruktur rusak.
Pada titik ini, kemarahan publik terhadap lambatnya respon pemerintah pusat, ditambah buruknya komunikasi publik pejabat terkait seakan sudah kutukan yang harus diterima oleh masyarakat Indonesia.
Warganet melalui berbagai unggahannya sudah dengan vulgar menunjuk hidung pihak pihak yang diyakini memiliki andil dan harus bertanggung jawab akan berlipat gandanya kerusakan dari fenomena hidrometeorologi sebagai dampak turunan dari perubahan iklim.
Penanganan darurat telah dan sedang berjalan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Namun yang jauh lebih penting saat ini adalah satu pertanyaan sederhana namun mendesak, apa yang bisa kita lakukan agar ketika hujan ekstrem berikutnya datang, kerusakan tidak sedahsyat ini lagi?
Sebagai arsitek lanskap, kami memandang jawabannya tidak bisa lagi semata-mata mengandalkan hard engineering, namun harus sudah mengarusutamakan soft engineering. Mitigasi bencana harus dimulai dari cara kita membaca, mendengar hingga merencanakan lanskap pada skala makro, meso dan mikro yang harus berkesinambungan.

Fenomena Langka Sebagai New Normal
BMKG mencatat terbentuknya Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka pada 25–26 November 2025 sebagai sebuah fenomena langka karena terjadi sangat dekat dengan khatulistiwa. Siklon Tropis ini membawa peningkatan intensitas curah hujan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, tak luput juga di semenanjung Malaysia.
Para ahli meteorologi menjelaskan, kombinasi siklon, monsun, dan kondisi laut yang lebih hangat membuat hujan dengan intensitas sangat tinggi berlangsung terus-menerus. Dalam konteks perubahan iklim global, kejadian ekstrem seperti ini diperkirakan akan semakin sering, bukan semakin jarang.
Curah hujan ekstrem adalah New Normal yang harus kita hadapi. Apakah kerusakan harus selalu sebesar ini setiap kali hujan besar datang? Tentu tidak, jika lanskap dan tata ruang kita siapkan untuk menghadapinya.

Ketika Lanskap Tidak Lagi Bisa Menahan Air
Sejumlah kajian awal menunjukkan bahwa kerusakan tidak hanya disebabkan oleh hujan yang luar biasa, tetapi juga oleh kerusakan ekosistem di hulu, alih fungsi lahan, dan tata ruang yang tidak pernah mendengar dan membaca alam.
Hutan lindung multi-strata yang seharusnya menjadi spons penyerap air telah lama terfragmentasi; lereng yang curam ditutupi kebun monokultur yang miskin strata, dataran banjir alami dipadati permukiman dan infrastruktur. Ketika hujan ekstrem datang, air tidak lagi punya ruang untuk melambat dan meresap.
Ia turun dari hulu sebagai gelombang energi yang membawa tanah, batu, dan batang pohon, menghantam perkampungan yang berdiri di jalur alirannya. Dalam banyak kasus, kita membangun tepat di tempat yang seharusnya dibiarkan menjadi ruang air.
Di sini, kegagalan bukan hanya pada level proyek atau bangunan, tetapi pada perencanaan lanskap skala makro dan meso, dimana rencana tata ruang tidak sungguh sungguh memasukkan peta risiko dan karakter fisiografi dan morfologi kawasan, sehingga zona-zona perlindungan strategis tidak terpetakan.
Jika pun terpetakan, potensi risiko ini tidak pernah menjadi fokus utama dalam proses pembangunan. Tidak membangun masih dianggap tabu, padahal esensi dari tidak membangun sejatinya adalah untuk menjaga apa yang sudah terbangun.
Perencanaan Lanskap: Dari Pinggiran ke Panggung Utama
Selama ini, arsitektur lanskap sering dipersepsikan sekadar soal taman, estetika, dan “penghijauan” di akhir proyek. Padahal, dalam konteks mitigasi banjir dan longsor, perencanaan lanskap justru seharusnya menjadi titik awal yang kritikal.
Perlu perubahan paradigma jika kita ingin meminimalkan kerusakan di masa depan.
Perubahan paradigma pertama adalah perencanaan lanskap tidak boleh hanya sekedar jadi “ijin lahan”, tapi harus bergeser ke paradigma “kapasitas ekologis”. Konsekuensinya, pertanyaan perencanaan harus berubah dari “apakah lahan ini secara administrasi dan penguasaan bisa dibangun?” menjadi “apakah lanskap ini mampu menanggung tambahan beban tanpa meningkatkan resiko bencana?”
Kawasan dengan resiko bencana tinggi memerlukan keberanian politik untuk membatasi pembangunan, bahkan relokasi harus menjadi pilihan sebagai bagian dari strategi dan mitigasi yang perlu dipersiapkan.
Perubahan paradigma kedua adalah dari “hard engineering” murni menjadi “soft engineering” dalam wujud infrastuktur hijau terintegrasi. Dinding penahan tanah, betonisasi lereng, dan saluran yang dibuat kedap air, tidak didesain untuk menampung kondisi hujan ekstrem.
Kita membutuhkan taman resapan, wetland buatan, jalur hijau drainase, sabuk hijau di lereng, dan hutan kota yang dirancang sebagai bagian dari jaringan infrastruktur hijau. Solusi berbasis alam (nature-based solutions) yang sifatnya regeneratif ini tidak untuk menggantikan rekayasa sipil, tetapi melengkapinya dan sering kali lebih ekonomis dalam jangka panjang.
Perubahan paradigma ketiga adalah dari “normalisasi sungai” ke ‘restorasi ruang air’, sudah saatnya kita memberikan perhatian lebih pada daerah aliran air alamiah, bantaran sungai dan dataran banjir yang merupakan bagian dari sistem hidrologi.
Mengembalikan sempadan sungai, membatasi pembangunan di dataran banjir, dan memulihkan ekosistem riparian untuk memperlambat aliran dan mengurangi erosi.

Menghormati Korban dengan Membangun Sistem yang Lebih Baik
Empati kita kepada para korban dan keluarganya tidak selesai di ucapan belasungkawa dan kunjungan ke lokasi bencana. Empati sejati justru diuji dalam kemauan untuk mengubah cara kita merencanakan ruang, agar tragedi serupa tidak terus berulang dengan pola yang sama.
Dari kacamata Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), beberapa langkah konkret yang bisa segera diambil diantaranya audit lanskap dan tata ruang di DAS prioritas yang terdampak banjir bandang. Bukan hanya untuk menghitung kerusakan, tetapi untuk memetakan kembali ruang air, zona risiko, dan area yang perlu direstorasi.
Menyusun rencana induk adaptasi perubahan iklim berbasis lanskap di tingkat provinsi/kabupaten, yang mengintegrasikan infrastruktur hijau, desain ruang terbuka, dan perlindungan kawasan penyangga dan yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan pengawasan serta memperkuat regulasi agar rencana yang sudah baik tidak berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar menjadi panduan pembangunan.
Kita tidak bisa mencegah terbentuknya siklon seperti Senyar, atau menghentikan hujan ekstrem yang dipicu perubahan iklim, atau mengurangi dampak pulau pulau panas di daerah urban. Namun kita bisa memastikan bahwa ketika air datang, ia bertemu dengan lanskap yang siap menerima, menahan, dan mengalirkannya dengan cara yang paling aman bagi manusia.
Jika bencana di Sumatra kali ini ingin kita maknai sebagai peringatan keras, maka pelajarannya jelas, Indonesia tidak boleh lagi merencanakan masa depan tanpa menghormati bahasa lanskapnya sendiri.
Dan di situlah perencanaan dan perancangan lanskap, pada skala makro, meso dan mikro, harus menjadi bagian dari arus utama sebagai salah satu pilar mitigasi bencana, bukan sekadar dekorasi di akhir proyek pembangunan.
Artikel ini disadur dari : https://harian.disway.id/read/915868/mitigasi-berbasis-lanskap-bukan-sekadar-izin-lingkungan
